Walau masih menunggu hasil toxicology tapi hampir pasti masyarakat tahu bahwa Whitney Houston meninggal karena overdosis, campuran drug dan alkohol. Publik juga tahu jatuh bangunnya pergumulannya dengan addiction.
Dibalik itu semua, sebagian besar orang juga tahu bahwa Whitney Houston adalah seseorang yang sangat rohani. Mulai dari penyanyi gereja sampai ke puncak karirnya sebagai penyanyi top sepertinya Whitney Houston tidak pernah meninggalkan imannya. Dalam wawancara dengan Oprah tahun 2009 Whitney Houston banyak sekali terbuka mengenai perjuangannya dengan obat-obatan dan juga mengenai bagaimana Ia bertahan, berdoa, mencari kekuatan dari Pencipta.
Tapi apakah Tuhan mengasihi pecandu? Apakah seseorang bisa tetap dekat dengan Tuhan meskipun hidupnya terikat dengan zat adiksi? Apakah seorang bisa tetap menjadi Kristen meskipun menjadi pecandu? Atau sebaliknya apakah kita bisa menyebut diri pengikut Kristus sementara kita adalah pencandu?
Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Pandangan tradisional bahwa seorang pencandu memiliki kebiasaan buruk yang sebenarnya bisa dihentikan kapan saja ybs mau, sekarang tidak lagi popular di dunia psikologis dan medis. Yang tentunya harus di terima oleh kalangan rohani.
Ada perbedaan antara kebiasaan (habit) dan adiksi (addiction): Adiksi adalah faktor psikologis/psikis dimana seseorang tidak bisa mengontrol kecanduannya tanpa bantuan orang lain atau mental professional. Kebiasaan di lain pihak adalah pilihan. Seseorang dapat memilih untuk berhenti. Masalah psikologis dan psikis bukan factor penghalang seperti pada masalah adiksi.
Pandangan dunia modern lebih memberi ruang kepada seorang pecandu untuk menerima diri mereka sendiri sehingga lebih terbuka dan berani mencari pertolongan.
Adiksi adalah penyakit kronis yang diderita penderitanya seumur hidup. Contohnya seperti ini: Ibu saya menderita hypertensi yang didiagnosa beberapa tahun lalu dan sejak saat itu ia harus memakan obat setiap hari untuk mengendalikan tekanan darahnya. Fungsi obat-obatan hanya untuk mengendalikan bukan untuk menyembuhkan. Contoh lain adalah penderita diabetes. Sekali didiagnosa menderita diabetes maka seseorang akan menjadi penderita diabetes seumur hidupnya. Ia perlu mengedalikan kadar gula dengan mengubah gaya hidup dan menjaga makan.
Tidak ada bedanya dengan seorang pecandu. Saat didiagnosa sebagai pecandu (addict) dan memenuhi kriteria adiksi itu berarti telah terjadi perubahan system kerja dalam otakya yang tidak bisa diperbaiki kembali. Seorang pecandu bisa melewati rehabilitasi yang akan membantunya mengenali penyakitnya dan bisa mengendalikan diri terhadap dorongan (impulse) untuk kembali aktif (relapse) tapi tidak menjanjikan mereka untuk terbebas selama-lamanya.
Disinilah peran lingkungan, keluarga, gereja dan masyarakat untuk mendukung dan menyelamatkan para pecandu ini. Semua faktor di luar seorang pecandu ini akan berfungsi sebagai pagar pembatas yang mencegahnya kambuh.
Karena tidak semua pagar pembatas tersebut berfungsi dengan baik, malah sebagian justru menjadi kendaraan bagi mereka maka bisa dikatakan tidak mudah bagi seorang pecandu untuk benar-benar bebas. Belum lagi ditambah dengan tekanan psikologis yang bertubi-tubi. Di kalangan celebrity tekanan psikologis ini jauh lebih berat dan akses mereka pada obat-obatan dan alcohol (substance) jauh lebih mudah.
Saya membayangkan Whitney Hoiston berjuang dengan masalah psikologis, tekanan media dan public, pernikahan yang gagal, popularitas yang menurun, sementara itu ia tetap berjuang keras untuk tidak kehilangan imannya.
Tuhan memberikannya kekuatan untuk tetap bertahan tapi tidak menyembuhkannya. Mengapa?
Jawabannya sama dengan yang dihadapi oleh jutaan orang setiap harinya yang berdoa untuk kesembuhan tapi tidak megalami kesembuhan.
Apakah Tuhan berhenti menjadi Tuhan, atau tidak cukup berkuasa?
Di bagian dunia yang lain ada orang-orang yang berdoa dan mendapatkan jawaban doa mereka. Mereka sakit dan disembuhkan karena mujizat masih terjadi.
Apa yang membuat perbedaan? Apakah doa mereka? Apakah iman mereka? Apakah kekudusan mereka?
Bisa jadi! Firman Tuhan dengan jelas menerangkan peran doa, iman, puasa, kekudusan untuk mendapatkan jaminan doa-doa kita terjawab. Tapi kita perlu ingat dengan kadar yang sama Tuhan juga berbicara mengenai kasih karunia.
Dalam kenyataannya, waktu Yesus ada di dunia menyembuhkan orang sakit Ia tidak pernah mengecek keberadaan dan latar belakang orang tersebut. Ya, ia meperhitungkan iman, tapi iman dalam arti orang itu percaya akan kesanggupan Tuhan untuk menyembuhkan. Itu sudah cukup .(Lukas 7:50; 8:48; 17:19; 18:42).
Saya pernah mengalami kehilangan dan sering betemu dengan orang yang mengalami tragedi, penderitaan atau sakit penyakit. Tapi yang bisa saya saksikan, meskipun dalan keadaan yang paling berat sekalipun, dalam keadaan paling sengsara sekalipun, orang-orang masih sanggup mengucap syukur. Masih merasakah damai. Masih tetap percaya dan berharap. Justru keadaaan-keadaan tersebut yang membuat mereka semakin kuat. Inilah yang menurut saya mujizat terbesar.
“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” (2 Korintus 12:9).
Orang yang bersedih karena berduka itu biasa. Tapi orang yang bersukacita karena berduka. Itu luar biasa.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur”. (Matius 5:4)
Itu sebabnya Whitney Houston masih sanggup menyanyikan “Yes, Jesus Loves Me”, lagu terakhirnya. Bahkan beberapa hari sebelum kematiannya sang Diva sudah mendapat firasat dan mengatakan pada orang-orang terdekatnya “waktunya sudah dekat, saya ingin bertemu Yesus”
Apa yang kita lihat dari jauh adalah seorang superstar, pencadu, overdosis, kematian. Popularitas, kejatuhan, kegagalan, dosa, hukuman.
Apa yang Tuhan lihat, seorang yang lemah yang telah diselamatkan oleh kasih karunia kembali ke rumah Bapanya.
Writer : Nancy Dinar